27.2.11

Objek wisata di nganjuk


SEDUDO

Air Terjun Sedudo adalah sebuah air terjun dan obyek wisata yang terletak di Desa Ngliman Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Jaraknya sekitar 30 km arah selatan ibukota kabupaten Nganjuk. Berada pada ketinggian 1.438 meter dpl, ketinggian air terjun ini sekitar 105 meter. Tempat wisata ini memiliki fasilitas yang cukup baik, dan jalur transportasi yang mudah diakses.
Masyarakat setempat masih mempercayai, air terjun in memiliki kekuatan supra natural. Lokasi wisata alam ini ramai dikunjungi orang pada bulan Sura (kalender Jawa). Konon mitos yang ada sejak zaman Majapahit, pada bulan itu dipercaya membawa berkah awet muda bagi orang yang mandi di air terjun tersebut.
Setiap Tahun Baru Jawa, air terjun Sedudo dipergunakan untuk upacara ritual, yaitu memandikan arca dalam upacara Parna Prahista, yang kemudian sisa airnya dipercikan untuk keluarga agar mendapat berkah keselamatan dan awet muda. Hingga sekarang pihak Pemkab Nganjuk secara rutin melaksanakan acara ritual Mandi Sedudo setiap tanggal 1 Suro.


Air terjun Roro Kuning di Bajulan,
Salah satu alternatif wisata adalah air terjun merambat Roro Kuning di Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Pemandanganya yang asri dan nyaman sangat indah dan tepat untuk wisata sambil ngabuburit (menunggu waktu berbuka puasa).

Sutaji, salah seorang tokoh masyarakat di Desa Bajulan, mengemukakan keindahan lokasi wisata yang dibangun sejak 2004 tepatnya pada 17 Desember tersebut sudah tidak diragukan.

Air terjun ini berasal dari tiga sumber air dari Gunung Wilis, mengalir merambat di sela-sela bebatuan padas di bawah pepohonan pinus.

Kemudian menjadi air terjun yang membentuk trisula dengan ketinggian sekitar 10-15 meter, sehingga masyarakat sekitar menyebutnya dengan air terjun merambat.

Nama Roro Kuning sendiri, berdasarkan cerita tokoh masyarakat Desa Bajulan, Mbah Nyambik, berasal dari Ruting dan Roro Kuning yang merupakan putri Raja Kadiri dan Dhoho yang berkuasa sekitar abad Xi hingga XII.

Nama asli Ruting adalah Dewi Kilisuci, sementara Roro Kuning adalah Dewi Sekartaji yang merupakan putri semata wayang Lembu Amiseno dari Kerajaan Dhoho. Ketika kedua putri raja itu sakit, di kerajaan tidak ada yang bisa menyembuhkan. Ruting sakit kuning sementara Roro Kuning sakit gondok dan kulit.

Untuk mencari kesembuhan kedua putri raja tersebut mengembara masuk keluar hutan belantara, naik gunung turun gunung dan akhirnya singgah di lereng Gunung Wilis Desa Bajulan.

Ketika sedang merenungi nasibnya sang putri bertemu dengan Resi Darmo dari Padepokan Ringin Putih desa Bajulan.

Di sinilah kedua putri raja tersebut dirawat dan diberi obat ramuan tradisional oleh Resi tersebut. Dengan ramuan dedaunan, sakit putri raja akhirnya bisa sembuh.

Dalam proses penyembuhannya, putri Ruting dan Kuning sering mandi di air terjun yang kemudian diabadikan oleh Resi itu menjadi nama air terjun.

Fasilitas
Lokasi wisata air terjun merambat Roro Kuning ini terletak sekitar 25 kilometer dengan ketinggan sekitar 600 meter dari permukaan air laut tepatnya. Lokasi wisata tersebut sangat asri Gunung Wilis bagian Selatan serta Gunung Limas.

Lokasi ini dapat digunakan sebagai alternatif pembelajaran sejarah. Terdapat museum Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dulu ditandu demi menghindari penjajah.

Untuk mengabadikan perjalanan beliau, pemerintah melestarikanya dengan agenda napak tilas Kediri - Bajulan oleh Pemerintah Kota Kediri.

Fasilitas yang disediakan di areal Perhutani di petak 66 tersebut dikelola cukup bagus dan lengkap. Terdapat areal bermain untuk anak-anak, "outbond", kolam renang baik untuk anak-anak maupun dewasa, "green house", mushalla, vila, serta laboratorium yang terdapat 40 jenis tanaman langka.

Selain itu, juga terdapat sebuah tempat untuk penangkaran rusa. Sedikitnya ada 12 jenis rusa timur atau "cervus timorensis" yang dipeliraha di tempat penangkaran tersebut.

Selain itu, lokasi parkir yang tersedia juga cukup luas, sehingga memudahkan kendaraan untuk singgah.

Bukan hanya itu, lokasi wisata ini juga terawat baik. Bahkan, kebersihan di lokasi tersebut juga selalu dijaga, sehingga para wisatawan selalu merasa nyaman dengan kebersihanya.

Keberadaan pedagang kaki lima di lokasi tersebut juga dikelola dengan baik. Para pengunjung tidak perlu khawatir kelaparan, setelah menjelajah sekitar 20 hektare luas wilayah, dengan memilih berbagai menu yang disiapkan oleh sekitar 30 PKL yang berada di sana.

Karcis masuk ke lokasi tersebut juga cukup murah. Setiap wisatawan yang datang hanya dipungut Rp2.000,00 per orang dan Rp1.000,00 per kendaraan untuk bisa masuk ke lokasi tersebut.

Ongkos tersebut terlalu murah daripada panorama yang didapatkan saat berkunjung.

Untuk menuju ke lokasi wisata tersebut tidak cukup sulit. Wisatawan bisa memanfaatkan kendaraan umum pribadi maupun umum dengan naik bus jurusan Kediri - Nganjuk.

Ongkos yang dikeluarkan untuk naik bus Kediri - Loceret Rp5.000,00, lalu melanjutkan perjalanan dengan naik ojek jurusan Bajulan-Loceret dengan ongkos Rp20.000,00.

Ongkos yang dikeluarkan memang mahal, karena kendaraan umum ke lokasi tersebut cukup terbatas. Hal inilah yang terkadang membuat wisatawan yang tidak membawa kendaraan pribadi kesulitan menuju ke lokasi tersebut.

Tuti, salah soerang wisatawan dari Kediri mengaku cukup puas dengan pemandangan yang ada di daerah tersebut. Namun, ia kesulitan menuju ke lokasi itu, karena angkutan umum yang terbatas, sehingga ia memilih memanfaatkan kendaraan pribadi.

Hal senada juga diungkapkan oleh Djoko, wisatawan asal Nganjuk. Ia mengaku datang ke air terjun Roro Kuning, selain untuk ngabuburit, juga untuk "refresing".

"Datang ke sini, untuk ngabuburit dengan teman - teman. Pemandanganya cukup menarik," kata Djoko yang memilih memanfaatkan kendaraan roda dua menuju lokasi tersebut.

Kepala Sub Bagian Pemberitaan Pemerintah Kabupaten Nganjuk Ahmadi mengaku masalah angkutan umum memang menjadi kendala tersendiri ke lokasi wisata tersebut. Hal itu juga yang membuat tingkat kunjungan ke lokasi itu juga masih terbatas.

"Kami memang merencanakan untuk membuat trayek baru yang nantinya bisa menghubungkan antara Ngetos - Sawahan dan tembus hingga Bojonegoro. Direncakan, trayek baru tersebut bisa terealisasi 2-3 tahun mendatang.

"Kami memang berencana membuat jalur trayek baru yang bisa sampai ke Bojonegoro. Dipastikan, dengan trayek tersebut beberapa objek wisata seperti air terjun Roro Kuning bisa manarik kunjungan para wisatawan terutama dari luar daerah," kata Ahmadi mengungkapkan.


Monumen Gerilya Jenderal Sudirman di Bajulan - Loceret dan Sawahan,

Terletak di desa Bajulan, kec. Loceret arah selatan kota Nganjuk. Monumen didirikan sebagai tanda bahwa di desa Bajulan pernah disinggahi Panglima Besar Jendral Soedirman selama 9 hari dalam rute perjalanannya memimpin perang gerilya melawan Belanda pada tahun 1949. 3 km dari monumen ke arah selatan terdapat padepokan yang sekarang dijadikan museum, juga tempat wudlu, tempat perundingan, serta tempat shalat yang pernah dipakai beliau selama tinggal di desa Bajulan.

B IOGRAFI :
Nama         : Jenderal Sudirman
Lahir          : Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916
Agama       : Islam
Meninggal   : Magelang, 29 Januari 1950
Dimakamkan: Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta
Pendidikan Fomal:
- Sekolah Taman Siswa
- HIK Muhammadiyah, Solo (tidak tamat)
Pendidikan Tentara:
Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor
Pengalaman Pekerjaan:
Guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap
Pengalaman Organisasi:
Kepanduan Hizbul Wathan
Jabatan di Militer:
- Panglima Besar TKR/TNI, dengan pangkat Jenderal
- Panglima Divisi V/Banyumas, dengan pangkat Kolonel
Komandan Batalyon di Kroya
Tanda Penghormatan: Pahlawan Pembela Kemerdekaan



Candi getos di Kecamatan Ngetos,
Lokasinya di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, sekitar 17 Kmr arah selatan kota Nganjuk. Menurut para ahli, berdasarkan bentuknya candi ini dibuat pada abad XV (jaman Majapahit). Bangunan secara fisik sudah rusak, bahkan beberapa bagiannya sudah hilang, sehingga sukar sekali ditemukan bentuk aslinya.

Candi Ngetos bersifat Siwa–Wisnu. Kalau dikaitkan dengan agama yang dianut Raja Hayam Wuruk, amatlah sesuai yaitu agama Siwa-Wisnu. Bangunan utama candi tersebut dari batu merah, sehingga akibatnya lebih cepat rusak. Atapnya diperkirakan terbuat dari kayu (sudah tidak ada bekasnya). Yang masih bisa dilihat tinggal bagian induk candi dengan ukuran sebagai berikut : Panjang candi (9,1 m), tinggi badan (5,43 m), tinggi keseluruhan (10 m), saubasemen (3,25 m), besar tangga luar (3,75 m), lebar pintu masuk (0,65 m), tinggi undak menuju ruang candi (2,47 m) dan ruang dalam (2,4 m). Terdapat empat buah releif, namun sekarang hanya tinggal satu, yang tiga telah hancur. Pigura-pigura pada saubasemennya (alasnya) juga sudah tidak ada. Dibagian atas dan bawah pigura dibatasi oleh loteng-loteng, terbagi dalam jendela-jendela kecil berhiaskan belah ketupat, tepinya tidak rata, atau menyerupai bentuk banji. Hal ini berbeda dengan bangunan bawahnya yang tidak ada piguranya, sedangkan tepi bawahnya dihiasi dengan motif kelompok buah dan ornamen daun. Disebelah kanan dan kiri candi terdapat dua relung kecil yang diatasnya terdapat ornamen yang mengingatkan pada belalai makara. Namun jika diperhatikan lebih seksama, ternyata suatu bentuk spiral besar yang diperindah. Yang menarik, adalah motif kalanya yang amat besar, yaitu berukuran tinggi 2 x 1,8 meter. Kala tersebut masih utuh terletak disebelah selatan. Wajahnya menakutkan, dan ini menggambarkan bahwa kala tersebut mempunyi kewibawaan yang besar dan agaknya dipakai sebagai penolak bahaya. Motif kala semacam ini didapati hampir pada seluruh percandian di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Motif ini sebenarnya berasal dari India, kemudian masuk Indonesia pada Jaman Hindu. Candi Ngetos, yang sekarang tinggal bangunan induknya yang sudah rusak itu, dibangun atas prakarsa Raja Hayam Wuruk. Tujuan pembuatan candi ini sebagai tempat penyimpanan abu jenasahnya jika kelak wafat. Hayam Wuruk ingin dimakamkan disitu karena daerah Ngetos masih termasuk wilayah Majapahit yang menghadap Gunung Wilis, yang seakan-akan disamakan dengan Gunung Mahameru. Pembuatannya diserahkan pada pamannya Raja Ngatas Angin, yaitu Raden Condromowo, yang kemudian bergelar Raden Ngabei Selopurwoto.Diceritakan, bahwa Raden Ngabei Selopurwoto mempunyai keponakan yang bernama Hayam Wuruk yang menjadi Raja di Majapahit. Hayam Wuruk semasa hidup sering mengunjungi pamannya dan juga Candi Lor. Wasiatnya , ketika Hayam Wuruk wafat, jenasahnya dibakar dan abunya disimpan di Candi Ngetos. Namun bukan pada candi yang sekarang ini, melainkan pada candi yang sekarang sudah tidak ada lagi. Konon ceritanya pula, di Ngetos dulu terdapat dua buah candi yang bentuknya sama (kembar), sehingga mereka namakan Candi Tajum. Hanya bedanya, yang satu lebih besar dibanding lainnya.


Candi lor

Lokasi : desa candirejo Kec. Loceret
Candi Lor terletak di desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, atau kira-kira 3-4 kilometer arah selatan dari pusat kota Nganjuk. Candi Lor ini didirikan oleh Pu Sindok pada tahun 859 Caka atau 937 M sebagai Tugu Peringatan Kemenangan Sindok atas musuhnya dari Melayu. Secara riil, candi yang menghadap ke barat ini wujudnya sudah tidak berbentuk lagi (sudah sangat rusak). Hal ini disebabkan usia bangunan yang memang sudah sangat tua, bahkan bangunan yang terbuat dari batu merah dan tumbuhnya pohon Kepuh di badan candi yang akar-akarnya mencengkeram dan menghunjam kesegala arah di badan candi sebelah selatan. Candi ini berdiri atas tanah seluas 42 x 39,4 meter 91654 meter persegi), luas soebasemen (alas) 12,4 x 11,5 meter (142,6 meter persegi) dan tinggi candi lebih kurang 9,3 meter. Dalam candi ini terdapat beberapa area diantaranya Ganesha dan Nandi. Meskipun keadaannya sudah rusak, dapat diperkirakan bahwa candi ini dahulunya mempunyai ruang dalam yang berbentuk segi empat.. Hal ini terlihat adanya sudut siku-siku yang masih tampak di sudut timur laut ruang dalam candi ini. Sekarang ini, di sebelah barat candi terdapat dua arca yang semuanya sudah tanpa kepala, yang satu diperkirakan arca Ganesha dan yang lain Siwa Mahadewa. Di sebelah barat arca terdapat Lingga dan Yoni, yang keadaannya telah rusak (Yoni telah pecah dan Lingga tinggal sebagian). Di sebelah baratnya lagi terdapat dua buah makam yang oleh penduduk diyakini sebagai makam Yang Karta dan Yang Kerti, abdi kinasih Pu Sindok. Jika benar bahwa benda-benda tersebut asli dari Candi Lor, maka dapat disimpulkan bahwa candi Lor bersifat Siwa. Walaupun Candi Lor keadaannya telah rusak, namun ditempat inilah terdapat salah satu bukti bahwa Nganjuk pernah berperan dalam panggung sejarah nasional. Disini terdapat batu bertulis yang memuat sebutan (toponimi) yang sangat dekat sekali ucapannya dengan Nganjuk, yakni Anjuk Ladang. Candi Lor ini merupakan bukti sejarah tentang keberhasilan Pu Sindok mengalahkan musuhnya, dan sekaligus merupakan Tugu Peringatan (Jayastamba).


Monumen & Pendopo agung Dr. sutomo

Monumen ini terletak di Desa Ngepeh Kec. Loceret yang merupakan desa kelahirannya. Monumen itu didirikan diatas tanah tempat menanam ari-arinya. Dokter Sutomo yang bernama asli Subroto ini lahir di desa Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli 1888. Ketika belajar di STOVIA (Sekolah Dokter), ia bersama rekan-rekannya, atas saran dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan Budi Utomo (BU), organisasi modem pertama di Indonesia, pada tanggal 20 Mei 1908, yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dilokasi monumen juga dibangun pendopo dan tempat penyimpanan benda-benda bersejarah milik Dr. Soetomo sebagai penunjang obyek wisata sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar